Udara Kering Tingkatkan Penularan Flu

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

Udara Kering Tingkatkan Penularan Flu

Sunday, June 30, 2019

Kuman-kuman (istilah umum) lebih menentukan lingkungan yg sejuk, kering & bebas dari sinar Ultraviolet.

 kering & bebas dari sinar Ultraviolet Udara Kering Tingkatkan Penularan Flu

Bagi kuman-kuman flu, cuaca panas & lembab sangat tidak bersahabat. Menurut dua penelitian baru, hal tersebut melemahkan tenaga mereka, mengurangi waktu di mana mereka bisa menular.

Walaupun belum diketahui mengapa virus-virus flu sangat sensitif terhadap panas & kelembaban, kedua hasil penelitian menyoroti kondisi-kondisi yg sanggup membantu & mendukung penularan yaitu faktor-faktor yg bisa, dicegah dengan mengontrol aspek-aspek lingkungan dalam rumah.

Suatu studi laboratorium mengukur berapa usang virus flu burung yg sangat patogenik masih bisa, menular. Para ilmuwan menempatkan sejumlah virus teridentifikasi ke banyak sekali permukaan di luar ruangan di sebuah peternakan ayam. Unggas telah dianggap sebagai sumber dari jenis flu burung yg mematikan ini.

Para peneliti mengambil sampel baik pada suhu kamar / di lingkungan hirau taacuh yg ibarat pendingin dapur. Kelembaban relatif juga berbeda dari yg rendah antara 15 & 46 persen hingga yg tinggi melebihi 90. Kondisi-kondisi ini "bukan tak biasa di beberapa potongan negara kami (AS)," kata rekan peneliti Joseph Wood dari Environmental Protection Agency in Research Triangle Park, N.C.

Partikel-partikel virus tidak tetap menular lebih dari sekitar satu hari pada suhu kamar & kelembaban tinggi, berdasarkan laporan tim peneliti Wood dalam naskah yg dipublikasikan lewat internet pada tanggal 3 September di Environmental Science & Technology. Ketika para peneliti menurunkan suhu & kelembabannya, terjadi perubahan2 tiba-tiba. Virus tersebut tetap bisa menular selama empat hari pada tinja / feses, & hingga simpulan penelitian (13 hari) pada gelas, logam & tanah. Malahan, insinyur lingkungan mencatat, kecuali pada tinja, "Hampir tak ada virus yg mati. Hal itu sedikit membingungkan."

Beberapa sampel tak terlindung dari gelombang sinar ultraviolet / ultraungu matahari. Pada permukaan yg tidak berpori-pori, virus-virus tersebut mati dalam waktu satu hari. Akan tetapi virus-virus yg tak terlindung dari UV bertahan selama dua hingga empat hari dalam tinja & tanah. "Bahkan pada cuaca cerah tak banyak dampak besar lengan berkuasa dari sinar UV," kata Wood, mungkin alasannya yakni virus-virus tersebut sanggup terkubur dalam celah-celah di mana virus itu terlindung dari UV.

Penelitian kedua mensimulasikan dampak-dampak pelembab ruangan terhadap ketahanan partikel-partikel virus di udara. Jumlah bakteri permulaan didasarkan pada jumlah partikel virus yg dimuntahkan ke udara dikala penderita flu batuk, berbicara / hanya bernafas yg sebelumnya telah diukur oleh tim peneliti. Suhu udara & kondisi uap lembab disimulasikan ibarat keadaan isu terkini hirau taacuh dikala isu terkini flu meningkat & kelembaban ruang menurun.

Di rumah-rumah dengan sistem udara buatan, jumlah virus udara dalam ruangan menurun hampir 20 persen dikala pelembab udara dipakai & kurang lebih sepertiga dalam ruangan-ruangan dengan pemanas radiator. (Perbedaannya: kipas pada rumah-rumah yg menggunakan tungku mencampur udara lebih banyak, menipiskan uap lembab yg disalurkan oleh pelembab ke udara ruangan lainnya). Penemuan itu dipublikasikan dalam naskah yg diposkan melalui internet pada tanggal 3 September di Environmental Health.

Analisa ini merupakan salah satu dari yg pertama mendasarkan perbandingan udara lembab otoriter daripada sekadar kelembaban relatif. Menurut klarifikasi Jeffrey Shaman dari Universitas Negarabagian Oregon di Corvallis, kelembaban relatif membandingkan massa air di udara kepada titik jenuhnya yaitu keadaan di mana uap lembab akan mulai menjadi hujan / menjadikan kabut. Namun, alasannya yakni relatif, situasi ini berubah seiring dengan suhu udara. Pada kelembaban relatif 50 persen 40° Fahrenheit, udara hanya mengandung seperempat air yg menguap di udara pada suhu 80° F. Namun, kelembaban otoriter mengukur massa air yg menguap di udara tanpa kaitan dengan temperatur / suhu.

Berbagai studi sejak tahun 1940an telah mengindikasikan bahwa temperatur & kelembaban memegang peranan dalam ketahanan virus flu. "Akan tetapi hu.bungannya tidak kuat," kata Shaman. "Hu.bungannya tidak selalu konsisten."

Dalam suatu naskah tahun 2009, ia & Melvin Kohn dari Bagian Kesehatan Oregon menunjukkan bahwa mengontrol jumlah udara lembab ibarat dalam laporan analisa virus flu sebelumnya ke kelembaban otoriter "nampaknya menjelaskan hampir keseluruhan perubahan2 ketahanan hidup virus di udara yg ada di laboratorium." Pengukuran kelembaban relatif sebelumnya menjelaskan hanya 12 persen variasi rasio penularan flu & 36 persen keinkonsistensian dalam ketahanan hidup virus, ujar Shaman.

Pelembab udara bisa, menjadi peralatan penting untuk mereduksi ketahanan hidup virus influenza di rumah," kata para peneliti dalam naskah gres Environmental Health.

Jangan bahagia dulu, kata Peter Palese dari Pusat Kesehatan Mount Sinai di kota New York. Menghilangkan bahkan dalam jumlah signifikan (sepertiga) virus di udara, meninggalkan sisanya yg cukup untuk menjadikan penyakit. Lebih lagi jikalau orang tidak hati-hati, kelebihan kelembaban pada suatu bangunan bisa, membuat duduk kasus gres yaitu pertanaman jamur.

Akan tetapi Shaman yg merupakan seorang ilmuwan atmosferik yg mempelajari efek-efek uap lembab & temperatur pada penyakit menular, yakin bahwa bukan tak mungkin menghilangkan 30 persen partikel flu di udara ada gunanya.

Persyaratan wabah flu untuk tetap bertahan ialah setiap orang yg terinfeksi harus menularkan rata-rata lebih dari satu orang tambahan2. Umumnya, jumlah tersebut merata sekitar 1,4 penularan tambahan2. Namun bukan mustahil memotong jumlah partikel-partikel virus menular dalam ruangan 20 / 30 persen bisa, mengurangi jumlah rata-rata orang yg sakit flu lebih kurang dari satu. "Setelah itu," kata Shaman, wabah tersebut "akan hilang."

"Hal itu berakhir pada permainan angka," katanya. Hal itu juga menunjukkan pentingnya pencatatan uji lapangan untuk mengukur tingkat di mana perubahan2 se&g waktu menular partikel-partikel virus bisa, mempengaruhi penularan penyakit.

Kategori Terkait: